Selasa, 21 Oktober 2008

2 Tugas Pansus Orang Hilang: Menemukan 13 Korban Penculikan dan Mendorong Proses Hukum

"Hidupnya" Panitia Khusus yang dibentuk untuk Kasus Orang Hilang (Pansus Orang Hilang) DPR RI mendapat perhatian banyak kalangan. Terlebih setelah ketua Pansus Effendi Simbolon pada 18 Oktober lalu menyampaikan rencana pemanggilan pejabat dan mantan petinggi TNI yang diduga terkait dengan kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini. Padahal, Pansus sendiri sudah dibentuk pada awal tahun lalu, tepatnya hasil putusan sidang paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007. Saat itu penulis sudah pernah memberikan apresiasi terbentuknya Pansus ini. Salah satu harapan dari masyarakat, terutama keluarga korban Pansus yang dibentuk bisa memfasilitasi, menemukan 13 aktivis pro-demokrasi korban penculikan yang terjadi pada 1997/1998.

Rencana yang terkesan "tiba-tiba" tersebut tentu menimbulkan polemik. Ketua DPR RI Agung Laksono bahkan sempat akan memanggil Pansus untuk meminta klarifikasi. Sebaliknya Effendi Simbolon Ketua Pansus Orang Hilang menyatakan dirinya tidak perlu konsultasi dengan pimpinan layaknya manajer dengan dirut. Hari ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sempat menggelar rapat kabinet memanggil Menko Polkam, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kapolri, Mensesneg dan Seskab. Sempat Panglima TNI, Jaksa Agung dan Seskab secara tegas membantah berita negatif yang mengaitkan keterlibatan SBY dalam kasus orang hilang ini.

Secara khusus Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menyatakan TNI telah selesai menangani kasus orang hilang, yakni dengan melakukan pemeriksaan di pengadilan militer dan membentuk dewan kehormatan perwira.

Sementara petinggi Partai Demokrat membantah keterkaitan SBY saat menjabat sebagai Assospol Kassospol ABRI saat peristiwa penghilangan paksa itu terjadi. Selanjutnya, Partai Gerinda menyarankan agar Prabowo tidak menghadiri acara pemanggilan Pansus, karena dinilai merupakan manuver politik sesaat untuk menjegal calon presiden dalam Pemilu 2009 yang berlatar belakang militer. Ketua Fraksi Golkar sendiri sampai siang hari tadi belum memberikan persetujuan atas rencana pemanggilan sejumlah mantan pejabat militer.

Jika ada kepentingan politik dari Pansus, tentu bisa dipahami, karena memang dibentuk oleh DPR sebagai lembaga politik. Namun dari segi penegakan hukum, tentu harapannya keliru dibebankan kepada Pansus Orang Hilang ini. Dukungan politik yang sungguh-sungguh dari sebagian besar anggota DPR-lah yang diharapkan untuk mendorong proses hukum (pro-justitia) atas dugaan pelanggaran HAM berat ini, dengan muara kasus ini diperiksa dan diputus di pengadilan HAM ad hoc. Tujuan pemeriksaan di pengadilan ini, tentu tidak lain adalah mengungkapkan kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga korban.

Saat ini, sudah bukan tempatnya Pansus mengulang pertanyaan-pertanyaan tentang kronologis, atau derita yang dirasakan para korban dan keluarga korban. Pansus tinggal membaca dokumen penyelidikan yang disusun Komnas HAM, berita acara pemeriksaan para korban yang selamat di kepolisian, dan seterusnya. Sekarang Pansus mesti mengerahkan segenap energi politiknya untuk membantu mencari kejelasan 13 korban yang masih belum diketahui rimbanya.

Ketigabelas korban itu: (1) Yani Afrie (2) Sony (3) Herman Hendrawan, (4) Dedi Hamdun, (5) Noval Alkatiri (6) Ismail (7) Suyat (8) Petrus Bima Anugerah (9) Wiji Thukul (10) Ucok Munandar Siahaan (11) Hendra Hambali (12) Yadin Muhidin, dan (13) Abdun Nasser. Peristiwa penghilangan paksa ini juga menimpa Leonardus alias Gilang yang belakangan ditemukan tewas. Sementara korban yang diculik dan dibebaskan, antara lain Mugianto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Reza, Rahardja Waluyo Jati, Harjanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan ST.

Tanpa ada keinginan dan keseriusan untuk memfasilitasi pencarian korban penculikan paksa dan mendorong proses hukum. Tak ada salahnya, penilaian masyarakat bahwa Pansus sedang mencari tulang didalam telur: hanya mencari-cari kesalahan orang!
Read More..

Jumat, 17 Oktober 2008

Penyidikan Prajurit oleh Polisi: Panglima TNI dan Kapolri Perlu Bertemu

Sejak pemisahan TNI dan Polri, secara otomatis sejumlah peraturan perundang-undangan perlu diubah untuk mengakomodasi semangat reformasi 1998. Diantaranya, perubahan Undang-Undang tentang Peradilan Militer. UU TNI mengamanatkan dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, semua prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan umum (Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004). Salah satu pasal yang sekarang "keras" pembahasannya yakni yang berkaitan dengah proses dan prosedur penyidikan bagi anggota TNI.

Pemerintah "bersikeras" mengusulkan jika terjadi tindak pidana umum yang dilakukan anggota NTI maka proses penyidikannya dilakukan oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum) atau oditur. Salah satu kekhawatiran dan dasar argumennya, dikhawatirkan jika penyidikan dilakukan polisi akan terjadi bentrok dan konflik dengan prajurit dilapangan. Menanggapi usulan pemerintah, per 16 Oktober 2008, mayoritas fraksi di DPR menolak usulan ini. Sementara PAN, PBR dan PPP berpendapat lain. PKB dan PDS tidak menentukan sikap yang jelas.

Sejak Kapolri masih dijabat Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, pihak Polri sudah menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan ketentuan baru itu jika UU Pengadilan Militer disahkan. Sementara Marsekal Djoko Suyanto saat masih menjabat sebagai Panglima TNI sempat menyatakan pihak TNI menyerahkan sepenuhnya keputusan RUU Peradilan Militer pada Pemerintah dan DPR.

Kekhawatiran terjadinya keributan dilapangan, seperti dilontarkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sangat beralasan dan kuat. Namun, tentu mesti dicarikan solusinya agar tidak merusak prosedur hukum acara pidana umum yang selama ini dilakukan. Solusi yang bisa diambil antara lain, pertam, ada aturan peralihan, dilakukan secara bertahap. Kedua, tahap awal, bisa saja polisi didampingi oleh polisi militer saat melakukan penyidikan. Ketiga, sosialisasi yang intensif sejak saat ini dan terutama setelah UU Peradilan Militer disahkan. Saat ini, Presiden bersama-sama Panglima TNI dan Kapolri sebaiknya bertemu membicarakan masalah ini.

Hukum pidana berlaku untuk semua orang, tanpa memandang statusnya, entah itu warga negara bisa, prajurit, jenderal bahkan presiden sekalipun. Karenanya, hukum acara yang digunakan pun sama, di Indonesia, digunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHAP disebutkan, mereka yang diberi kewenangan penyidikan (kasus pidana umum) adalah polisi dan PNS yang diberi kewenangan tertentu atau penyidik PNS. "Lha penyidik militer (polisi militer) kan tidak termasuk karena dia tidak masuk dua kategori tadi," ujar Patra. Berdasarkan KUHAP, penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus (Pasal 1 angka (1) KUHAP). Polisi militer bukanlah pegawai negeri sipil. Karenanya, menurut KUHAP tidak dapat melakukan penyidikan perkara tindak pidana umum.

Sekali lagi sosialisasi mengenai "aturan baru" dilingkungan TNI sangat perlu. Tentunya, tidak ada seorang panglima dan komandan yang mau melindungi prajuritnya yang malakukan kejahatan. Usulan pemerintah untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada polisi militer jelas akan merusak asas-asas hukum acara pidana umum yang berlaku. Memang, untuk menegakkan prinsip, bukan sesuatu yang mudah!
Read More..

Rabu, 15 Oktober 2008

Selamat Bagi 6 Hakim Agung Terpilih

Hitungan jam, Komisi III DPR RI akan memilih 6 calon hakim agung dari 18 calon yang diajukan Komisi Yudisial. Uji kelayakan dan kepatutan sudah digelar sejak senin lalu (13/10). Dari aspek keseimbangan, maka bisa saja DPR RI memilih 3 calon dari jalur non-karir, dan jumlah yang sama dari karir, yang diusulkan MA.

Nama-nama yang diusulkan KY antara lain: Syamsul Ma'arif, dengan jabatan terakhir Ketua KPPU; Takdir Rahmadi, jabatan terakhir Dekan FH Unand; Rusli Muhammad, dosen FH UII; Nyoman Serikat Putrajaya, dosen UNDIP. Kesemuanya CHA non-karir. Selanjutnya,
dari hakim non-karir, ada nama-nama I Gusti Made Antara, Waka PT Mataram; P Rosmala Sitorus, Ketua PT Pontianak; Muhammad Ramli, Waka PT Bengkulu; Suwardi, Waka PT DKI Jakarta.

Dukungan terbuka sudah nampak dari beberapa anggota Komisi III, seperti Nursyahbani Katjasungkana yang eksplisit memberikan apresiasi pada satu-satunya CHA perempuan, P Rosmala Sitorus. Anggota Komisi III lainnya, Nasir Djamil kepada media memberikan pujian kepada 4 CHA, diantaranya Nyoman Serikat Putra Jaya dan I Gusti Made Antara.

Sebenarnya tidak sulit memprediksi 6 nama yang akan dipilih DPR RI. Fit and proper test cenderung hanya melewati prosedur formal. Pada hari pertama dilakukan saja, hanya sekitar 20 anggota Komisi III dari total 49 yang bertahan di ruang rapat. Hal yang berbeda jika agendanya untuk mengambil keputusan, karena menyangkut suara. Inilah yang sering disampaikan, bahwa pada dasarnya para anggota komisi sudah jauh-jauh hari mempunyai jagonya sendiri-sendiri. Masyarakat diharuskan maklum karena DPR sendiri asalinya merupakan lembaga politik.

Dalam 3 hari ini tidak sedikit SMS yang masuk perihal keburukan CHA ke cellular phone. Begitu juga puja puji serta apresiasi. Mungkin ada benarnya. Tapi tentu tidak bisa ditelan mentah-mentah sebelum ada proses hukum yang dilakukan terhadap dugaan pidana yang dilakukan para calon. Untuk itulah diperlukan, minimal verifikasi oleh para anggota Komisi III. Inilah mengapa ke-49 anggota komisi perlu seksama dan bertahan mantap diruang sidang.

Dukungan ataupun kritik tentu positif dan hampir terjadi disetiap proses fit and proper tes pejabat negara, termasuk komisioner. Masih ingat kasus pemilihan pimpinan KPK? Sebelumnya para calon pimpinan sempat diragukan, namun perlahan muncul juga dukungan. Tidak lain tidak bukan karena aksi bukan janji; tidak lain karena kinerja.

Tahun lalu untuk "menggenjot kinerja" panitia anggaran DPR sudah menyetujui kenaikan tunjangan para hakim agung. Saat ini, sebagai contoh total gaji pokok, tunjangan struktural dan tunjangan kinerja, seorang ketua MA mencapai kurang lebih Rp74,3 juta. Kenaikan tunjangan semacam ini tidak lain agar para hakim agung "nyaman" dan tidak lagi memikirkan "penghasilan" selain dari menegakkan keadilan dan mewujudkan aspirasi keadilan masyarakat.

Bagi siapa pun yang terpilih sepatutnya diucapkan selamat. Bukan gampang, 18 CHA itu sampai ke proses uji kelayakan dan kepatutan (lihat Pasal 7 UU 5/2004). Harapannya, tentu ke-6 hakim agung yang terpilih dapat menjadi teladan baru. Bukan sebaliknya menjadi bagian dari masalah yang sudah ada dalam tubuh MA. Saat ini, kondisinya masih surplus janji defisit bukti.

-------------------------------------------------------------------------------------

Pasal 7 UU 5/2004:
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
d. berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk
sekurang-kurangnya 3 tiga)tahun menjadi hakim tinggi.

(2) Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat:
a. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, dan
huruf e;
b. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25
(dua puluh lima) tahun;
c. berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain
yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Read More..

Kamis, 09 Oktober 2008

HUT TNI ke-63: Hentikan Perintah Pengosongan Rumah yang Dihuni Purnawirawan

Penggusuran paksa atau perintah pengosongan rumah dinas terjadi hampir setiap tahun. Korbannya ribuan purnawirawan TNI dan keluarganya. Praktik penggusuran paksa ini tidak hanya dialami purnawirawan berpangkat rendah, juga dialami mantan pimpian TNI sendiri. Sepuluh tahun reformasi TNI, belum mampu menjawab masalah perumahan bagi prajurit. Karenanya 5 agenda reformasi TNI yang dikemukakan Panglima TNI Djoko Susato dalam peringatan HUT TNI ke-6,3termasuk peningkatan kesejahteraan prajurit sangat relevan. Langkah paling cepat yang bisa dilakukan adalah: moratorium penggusuran paksa dan perintah pengosongan rumah yang dihuni para purnawirawan TNI.

Beberapa contoh dapat dikemukakan. Di Makasar penolakan penggusuran sudah mulai pada 2001. Korbannya, antara lain para purnawirawan yang telah mendiami rumah dinas sejak 1956.

Februari 2004 penggusuran rumah purnawirawan TNI AU terjadi di jalan Mustang Polonia, Medan. Bahkan penggusuran terjadi dini hari pukul 05.30 bertepatan dengan hari raya Idul Adha, saat para pemilik rumah sedang menunaikan shalat. Korbannya, 3 orang purnawirawan berpangkat kolonel dan letkol.

Di Jakarta April 2004, perintah pengosongan rumah dilakukan bagi para purnawirawan TNI AD di komplek Gatot Subroto Jakarta. Korbannya kali ini mantan pimpinan TNI AD sendiri, seperti Mayjen TNI Purn Atam Surakusumah, Brigjen TNI Purn Ben Mboi, dan Brigjen Sudarso. Para purn Jenderal ini sempat didampingi oleh LBH Jakarta.

Di Surabaya pada 2006, penggusuran terjadi di daerah yang dihuni purnawirawan TNI AL di Surabaya. Didampingi LBH Surabaya, 8 orang perwakilan dari Badan Kontak TNI AL sempat mendatangi Komisi I DPR RI. Ditahun yang sama di bulan Maret, penggusuran dilakukan secara tertutup di Semarang. Dua orang purnawirawan Serka Mudakir dan Letkol Rubyni Slamet bahkan sempat mendirikan tenda di sekitar bundaran air mancur di jalan Pahlawan akibat rumah dinas mereka digusur.

Maret 2008, sekitar 350 jiwa diusir para purnawirawan dan keluarga TNI AD di Komplek Pejambon sempat juga menolak pengosongan rumah yang ditempati mereka selama puluhan tahun. Warga beralasan, lahan yang ditempati bukan aset TNI AD melainkan lahan peninggalan zaman Belanda yang dititipkan oleh gereja.

Selanjutnya, Agustus tahun ini, giliran sekitar 500 kepala keluarga di komplek Kodam 0505 Kramat Jati yang diperintahkan mengosongkan rumah yang ditempatinya. Menariknya, para penghuni bersikeras menolak penggusuran karana sejak ditinggali pada 1951 mereka membayar sendiri seluruh fasilitas termasuk listrik dan BWB. Pada bulan yang sama penggusuran juga menimpa 156 purnawirawan TNI AU di perumahan Dwikora Cimanggis Depok Jawa Barat.

Dari pengalaman mengadvokasi kasus, masalah penggusuran paksa dan perintah pengosongan rumah bagi purnawirawan seringkali berakar setidaknya dari 3 soal pokok. Pertama, pihak Mabes dinilai tidak memberikan lahan pengganti yang memadai. Kedua, tidak ada ganti kerugian yang adil. Ketiga, lahan atau rumah yang selama ini dihuni ditukar guling dan dijual ke pihak swasta.

Saat masih aktif para prajurit dipungut tabungan wajib perumahan. Selain itu warga seringkali bertahan dengan menggunakan dasar Peraturan Presiden Nomor 31/2005 tentang Rumah Dinas yang diperbolehkan untuk dihuni purnawirawan dan keluarganya. Langkah bijaksana jika Mabes TNI berhenti memberi perintah pengosongan rumah dinas atau rumah yang dihuni para purnawirawan, jika tidak ada relokasi, ressetlement, atau ganti kerugian yang adil!.
Read More..

Selasa, 07 Oktober 2008

Ekuador: Negara Pertama di Dunia yang Memuat Hak atas Perumahan, Hak atas Kota dan Hak atas Air dalam Konsitusi

Ekuador baru-baru ini mensahkan sebuah konstitusi baru. Menariknya, dalam konstitusi ini dimuat hak asasi setiap orang atas perumahan, hak atas kota dan hak atas air serta sanitasi. Dengan kata lain, Ekuador menjadi negara pertama yang mengadopsi norma dan standar internasional hak asasi manusia berkaitan dengan "housing rights", "the right to the city" dan "the right right to water and sanitation".

Jaminan hak-hak asasi dan hak fundamental tersebut, patut diapresiasi ditengah banyak pemerintahan mempraktikan penggusuran paksa, mencegah masyarakat miskin dan marjinal masuk ke ibukota dan kota besar, serta penerbitan kebijakan dan praktik privatisasi sumber dan mata air bagi kepentingan orang seorang dan badan hukum privat.

Hak atas perumahan memiliki sejumlah elemen yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara, utamanya pemerintah. Pertama, keamanan kepemilikan tanah (legal security of tenure). Tidak diperkenankan adanya pengambilan tanah masyarakat, walaupun untuk kepentingan umum, secara sewenang-wenang. Kedua, ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur, yang esesial bagi penduduk atau penghuni rumah, termasuk fasilitas kesehatan. Ketiga, keterjangkauan biaya. Dibanyak negara, bahkan disediakan perumahan sosial bagi penduduk miskin. Keempat, kenyamanan untuk ditinggali. Menjadi idaman bagi semua orang untuk memiliki rumah yang dapat melindungi diri dan keluarganya dari cuaca, termasuk bebas dari ancaman banjir. Kelima, ketersediaan akses bagi setiap orang, termasuk untuk penghuni yang disfable dan anak-anak. Keenam, lokasi yang dapat dijangkau dan menjangkau fasilitas sosial, pendidikan, pekerjaan dan lainnya. Dalam konteks ini, pemerintah mesti memperhatikan alat transportasi umum ke permukiman dan perumahan masyarakat. Terakhir, yang tak kalah penting, jaminan kesesuaian budaya untuk mengekspresikan identitas dan keberagaman budaya.

Hak atas kota, merupakan konsep dan kerangka kerja hak asasi manusia yang tengah berkembang didunia internasional. Hak atas kota ini memberikan obligasi bagi pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang mencegah tanah sebagai komoditas (komodifikasi lahan) oleh spekulan, yang mengakibatkan tergusurnya masyarakat miskin dari wilayah perkotaan. Hak atas kota ini juga memberikan obligasi bagi pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi, lingkungan hidup serta partisipasi masyarakat secara penuh (full) dan berdayaguna (meaningfull) bagi tata kota dan pembangangunan perkotaan.

Sementara, hak atas air mengandung jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan dan menikmati air bersih dan sumber air untuk kehidupannya. Tidak sedikit penduduk meninggal dunia akibat kekurangan air, dehidrasi, dan air yang tercemar (General Comment 15, CESCR, 2002).

Dimuatnya hak-hak dasar dan fundamental tersebut dalam konstitusi Ekuador, semoga menjadi inspirasi bagi DPR dan Pemerintah Indonesia juga bagi DPRD dan Pemda, yang diharapkan menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia, ketimbang membahas peraturan yang diskriminatif bahkan justeru melanggar hak asasi dan kebebasan fundamental warga negara.
Read More..

Minggu, 05 Oktober 2008

Skenario dan Lobi Tingkat Tinggi Perpanjangan Usia Pensiun 70 Tahun Hakim Agung

Diucapkan selamat ulang tahun bagi pak Bagir Manan yang hari ini, 6 Oktober 2008, genap berusia 67 tahun. Hari ini juga mestinya Ketua Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat karena telah genap masuk dalam batas usia pensiun. Karenanya, berdasarkan aturan perundang-undangan tentang pemberhentian pimpinan Mahkamah Agung, Presiden mesti segera menerbitkan Keputusan Presiden tentang pemberhentian Bagir Manan (Pasal 11 (1) UU 5/2004).

Tahun ini, selain Bagir Manan, ada 7 hakim agung yang memasuki usia pensiun, yakni: Marianna Sutadi Nasution (21 Oktober), yang juga Wakil Ketua Bidang Yudisial; Parman Suparman Ketua Muda Pidana (13 Oktober); Kaimuddin Salle (23 Oktober); Iskandar Kamil Ketua Muda Pidana Khusus (31 Oktober); Soedarno (9 November); German Hoediarto Ketua Muda Militer (24 November), dan Andar Purba (19 Desember).

Masalah kekosongan pimpinan MA Agung, memang sengaja dibuat, dan direncanakan sistematis. Hal ini, ditunjukan dari fakta: (1) Ketua Hakim Agung tidak segera mengusulkan pemberhentian dirinya kepada Presiden, karena akan memasuki usia pensiun; (2) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak segera menerbitkan Keppres tentang pemberhentian dengan hormat Ketua Mahkamah Agung; (3) Pimpinan Mahkamah Agung tidak menyiapkan pergantian pimpinan termasuk jabatan Ketua Mahkamah Agung; (4) pembahasan revisi UU MA yang terkesan "kejar setoran"; (5) kecendrungan Panja revisi UU MA, 21 September lalu, yang menyepakati perpanjangan usia pensiun hakim agung sampai 70 tahun. Hanya Fraksi PDIP yang bertahan di usia 67 tahun.

Muara dari rencana tersebut tentunya adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang memperpanjang usia pensiun hakim agung 67 tahun. Perpu ini agaknya akan disetujui DPR untuk menjadi UU, karena di DPR sendiri, kecenderungan fraksi-fraksi DPR akan menerima sesuai dengan hasil Panja Revisi MA. Alternatif lain, UU MA didesak untuk segera disahkan.

Usulan pemberhentian hakim ke Presiden, paling lambat 14 hari. Tidak jelas apakah Bagir Manan telah meminta Keputusan Presiden untuk pemberhentian dirinya. Bagir Manan sendiri telah dua kali memperpanjang sendiri usia pensiun dari 65 tahun menjadi 67 tahun serta memperpanjang batas usia aktif dengan memperpanjang masa tugas para hakim agung, sehingga kemudian terpilih lagi sebagai Ketua MA.

Pada 19 Januari 2006, kepada wartawan/jurnalis di gedung MA, Bagir Manan yang memasuki usia pensiun 65 tahun menyatakan perpanjangan usia pensiun bagi dirinya dan 9 hakim agung lain, disebabkan dua alasan pokok: karena para hakim yang memasuki usia pensiun ini bisa dikatakan cakap dan masih dibutuhkan untuk memeriksa perkara MA yang jumlahnya banyak. Dua tahun, berulang, alasan-alasan klasih seperti ini berulangkali dikemukakan, sehingga perlu lagi diperpanjang hingga 70 tahun. Lalu apa artinya, kerja para hakim agung selama 2 tahun ini?

Hari ini pun jika mau, bisa dilakukan pemilihan kembali pimpinan MA. Bisa juga para hakim agung secara aklamasi menunjuk hakim agung untuk menggantikan Bagir Manan. Hal ini tentu dengan dasar argumen yang paling kuat: untuk memberikan contoh, MA sebagai pucuk kekuasaan kehakiman tidak melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan.

Saat bukan persiapan penggantian pimpinan yang terjadi. Sebaliknya, sekarang bisa jadi sudah ada diskusi serius untuk penerbitan Perpu usia pensiun hakim agung. Kalau skenario usia pensiun 70 tahun ini terwujud, acungan jempol bagi Bagir Manan yang piawai. Genap sudah kekuasaan dan otoritas digunakan untuk kepentingan diluar keadilan dan aspirasi masyarakat. Inilah yang disebut skenario dan lobi tingkat tinggi: sebuah skenario dan lobi yang membahayakan reformasi di puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia!
Read More..

Parliamentary Threshold Bertentangan dengan Konstitusi

Tak akan lama, isu "parliamentary threshold" (PT) akan menyemarakan lagi pemberitaan media, terutama setelah penyusunan dan penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR RI yang dijadwalkan 9 - 26 Oktober 2008. Awal Agustus lalu, rencana pengajuan judicial review di MK oleh belasan Parpol sempat disampaikan Ketua Umum PPD Oesman Sapta yang dipercaya menjadi koordinator Forum Komunikasi 18 Parpol. Tidak tertutup kemungkinan Parpol yang akan terlibat menjadi 22 Parpol dengan tambahan 4 Parpol yang ditetapkan KPU belakangan.

Berdasarkan hasil Pemilu 2004, hanya 8 Parpol yang dapat memenuhi ketentuan perolehan suara PT dan memperoleh kursi, yakni: (1) Partai Golkar (23,27%); (2) PDIP (19.82%); (3) PPP (10.55%); (4) Partai Demokrat (10,00%); (5) PAN (9,64%); (6) PKB (9,45%) dan (7) PKS (8,18%); (8) PBR (2,55%). Jika mengacu pada hasil Pemilu 2004, diperkirakan tidak sampai 10 Parpol yang bisa mendudukan calegnya di kursi DPR RI, selebihnya bisa dibilang Parpol peserta Pemilu yang lain bergotong royong menyumbang suara untuk parpol-parpol yang memenuhi syarat 2,5 ambang batas perolehan suara dari jumlah suara yang sah secara nasional. Dengan kata lain, Parpol yang tidak memperolah 2,5% suara, berdasarkan Pasal 202 (1) UU 10/2008 tidak dapat mendudukan wakilnya untuk duduk di Senayan. Ketentuan PT ini tidak berlaku untuk DPRD tingkat I dan II.

Saat ini, 38 Parpol - bertambah 14 Parpol baru dibandingkan Pemilu 2004 - telah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2009. Empat parpol yang nomor urutnya diundi belakangan ditetapkan KPU berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindak lanjut dari permohonan judicial review 7 Parpol terhadap UU Pemilu yang dikabulkan MK beberapa waktu lalu (Putusan Perkara No 12/PUU-VI/2008). Ketujuh parpol ini memberikan kuasa hukum pada para advokat, dipimpin Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia untuk menguji Pasal 316(d) UU Pemilu.

Sejumlah argumen penolakan aturan PT yang dihimpun dari berbagai media, antara lain: pertama, belum tentu 8 Parpol nanti bisa memenuhi syarat 2,5 persen. Artinya, suara terbagi rata, akibatnya tidak ada satu parpol pun yang bisa mengirimkan wakilnya ke DPR RI. Hal ini tentu bisa saja terjadi, namun tidak sedikit orang yang meragukan benar-benar terjadi dalam praktek.

Kedua, aturan PT dinilai memasung demokrasi dan tidak adil, karena menghilangkan begitu banyak suara pemilih salah satu parpol, yang suaranya dibagikan ke Parpol yang memenuhi PT. Di Jerman, yang menerapkannya, kursi parpol yang tidak mencapai kualifikasi PT dibiarkan kosong, sehingga jumlah anggota parlemen Jerman fluktuatif.

Argumen ketiga, aturan PT berpotensi menimbulkan konflik, jika masyarakat pemilih tidak terima suaranya dialihkan ke Parpol lain, yang tidak sesuai dengan pilihan dan aspirasinya.

Untuk rencana pengajuan judicial review di MK, telah dua kali pertemuan dilaksanakan dengan pihak Parpol dan Badan Pengurus YLBHI. Saat ini telah dirumuskan sejumlah pasal UUD 1945 yang telah dilanggar oleh aturan PT. Jika dikabulkan kembali oleh MK seperti uji materil Pasal 316 huruf (d), maka proses perolehan jumlah kursi sama seperti pada Pemilu lalu. Baiknya, pengujian ini diajukan dan disidangkan di MK sebelum proses pemungutan suara yang dijadwalkan pada 5 April 2009.

Berdasarkan Keputusan KPU 9/2008, penetapan dan pengumuman calon terpilih untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD dilaksanakan pada 13 - 20 Mei 2009.

Lampiran

Forum 18 Parpol:
1. Partai Persatuan Daerah (PPD);
2. Partai Barisan Nasional (Barnas);
3. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP);
4. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra);
5. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura);
6. Partai Indonesia Sejahtera (PIS);
7. Partai Karya Perjuangan (PKP);
8. Partai Demokrasi Kebangsaan Indonesia (PDKI);
9. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU);
10. Partai Kedaulatan (PK);
11. Partai Matahari Bangsa (PMB);
12. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK);
13. Partai Pemuda Indonesia (PPI);
14. Partai Patriot (PP);
15. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN);
16. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI);
17. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB);
18. Partai Republik Nusantara (PRN).
Read More..

Jumat, 03 Oktober 2008

Operasi Yustisi Kependudukan, Solusi Ahli?

Operasi yustisi kependudukan (OYK) telah menjadi "tradisi" tahunan bagi aparat Pemda DKI. Setidaknya ada 2 masalah yang setiap tahun belum dipecahkan oleh Pemda DKI Jakarta. Pertama, kekeliruan paradigma dan semangat OYK. Kedua, kejahatan aparat yang tidak diberikan sanksi dan diproses hukum berkaitan dengan pelaksanaan OYK.

Sejak 1980-an, Pemda DKI telah melakukan operasi beraneka operasi yustisi, seperti pelanggaran ketertiban dan kebersihan lingkungan. Sementara operasi kependudukan sudah dimulai pada 1990-an. Pada 1996, misalnya, penduduk DKI sempat dihebohkan dengan OYK lewat kelancangan petugas operasi masuk dan mengeledah kamar dan kontrakan mahasiswi/karyawati dini hari menanyakan identitas. Belakangan OYK merupakan pekerjaan langganan petugas Pemda setelah lebaran.

Saat ini OYK didasarkan pada Perda DKI Jakarta No 4/2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, yang selanjutnya diatur secara teknis lewat instruksi Gubernur. Sebelum tahun 2004, Pemda DKI mendasarkan kebijakan operasi yustisi pada Perda 11/1988. Untuk tahun 2007, Pemda mengalokasikan lebih dari Rp 330 juta untuk OYK di 4 kotamadya, minus Jakarta Pusat.

Jika argumennya, OYK berdasarkan aturan mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, maka pada dasarnya kebijakan ini wajib mengikuti aturan yang lebih tinggi, yakni UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Mengikuti paradigma UU Adminduk, maka OYK juga mesti diterapkan berdasarkan norma dan standar hak asasi manusia, termasuk hak semua orang memiliki dokumen kependudukan dan pelayanan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Dengan kata lain, justeru Pemda DKI Jakarta mempermudah pelayanan bagi setiap penduduk yang ingin mendapatkan KTP DKI tanpa diskriminasi berdasarkan apapun.

Karenanya, setiap pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum seputar OYK mesti diproses juga secara hukum. Dari pengalaman operasi yustisi yang digelar sejak 1998, YLBHI dan LBH Jakarta seringkali mendapat pengaduan dan menemukan fakta penangkapan, penahanan tindakan penggeledahan sewenang-wenang, serta kekerasan aparat; proses persidangan yang ditempat yang tidak fair, dan terjadi praktek penelantaran dalam proses pemulangan penduduk ke daerah asal.

Dalam Perda 4/2004 sangat jelas dimuat aparat Pemda tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan dan atau penggeledahan. Jadi jika ada Satpol PP atau petugas Pemda lainnya mau melakukannya, anggota masyarakat punya hak melakukan penolakan atau perlawanan.

Semangat yang tertangkap dari operasi yustisi adalah penurunan angka penduduk yang datang ke jakarta. Hal ini seringkali didengar dengan klaim kesuksesan operasi yustisi ditunjukkan dari penurunan penduduk beberapa waktu paska lebaran tiap tahunnya.

Berdasarkan data dari dari pihak Pemda, setiap tahun, walaupun ada operasi yustisi, penduduk dari luar Jakarta, tetap berdatangan. Pada 2002, sebanyak 231.528 jiwa. Selanjutnya berturut-turut 204.830 orang; 190.356 orang; 180.767 orang; dan 124.427 orang pada 2003; 2004; 2005, dan 2006. Tahun kemarin, pihak Pemda menyatakan jumlah penduduk yang membonceng arus balik sebanyak 109.617 jiwa.

Jumlah penduduk DKI Jakarta per Maret 2007 berdasarkan hasil pencocokan dan penelitian dari RT/RW sudah mencapai 7.871.215 Jiwa. Sementara, berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya per Januari 2008, jumlah penduduk DKI sudah mencapai 8.489.910. Artinya, tidak sampai setahun, penduduk Jakarta sudah bertambah 618.635 jiwa.

Masalah pertambahan penduduk di Jakarta, tentu tidak bisa hanya diselesaikan lewat operasi yustisi kependudukan kalau hanya kesuksesan alokasi ratusan juta rupiah ABPD DKI hanya diukur dari menurunnya jumlah pendatang seminggu atau dua minggu pasca lebaran. Terlalu banyak energi dan dampak negatif termasuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi lainnya yang timbul, selain dari klaim kesuksesan penurunan penduduk pendatang.

Masalah penduduk di DKI Jakarta, bukan hanya merupakan masalah pemerintah DKI Jakarta saja. Tanpa ada solusi bersama dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain dan Pemda DKI Jakarta sendiri, maka OYK selalu meninggalkan kisah pilu penduduk yang "dirazia" pasca lebaran. Sayang kalau kekuasaan dan dana digunakan hanya untuk mengejar setoran penurunan penduduk yang membonceng arus balik mudik para penduduk ke Jakarta.

Dimanapun di dunia, ibukota menjadi magnet bagi warga, begitu juga Jakarta bagi para pendatang yang tidak memiliki harapan dan penghasilan di daerah yang ditinggalkannya. Mari masalah penduduk ini kita "serahkan pada ahlinya".
Read More..

Kamis, 02 Oktober 2008

Benahi Kebijakan Pemberian Remisi

Tidak ada yang istimewa soal remisi. Pemberian remisi berulangkali heboh saat diberikan kepada narapidana tertentu, seperti napi tindak pidana korupsi yang mantan pejabat atau "orang kuat. Kali ini 1.125 napi di Lapas Cipinang mendapat remisi, termasuk 37 napi kejahatan korupsi, antara lain yang dinikmati mantan Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah, terpidana kasus korupsi pembukaan lahan kelapa sawit sejuta hektar, Abdullah Puteh mantan Gubernur NAD kasus korupsi pengadaan helikopter dan Pono Waluyo, terpidana kasus suap di MA.

Semua terpidana yang masuk dalam Lapas pada dasarnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Ini berlaku bagi narapidana tindak pidana umum, atau tindak pidana korupsi dan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia. Lewat Lapas, gagasannya, semua napi menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Inilah paradigma sistem pemasyarakatan yang dianut dalam UU 12/1995.

Orang yang dimasukan ke dalam Lapas, adalah orang yang hilang kemerdekaannya - sebagai salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan padanya. Namun selama menjalani hukuman, napi sebagai manusia, tetap melekat hak asasi dan hak-hak hukumnya, antara lain mendapatkan remisi atau pengurangan masa pidana, cuti mengujungi keluarga, pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang bebas, selain hak fundamental lain, seperti: melaksanakan ibadah menurut agama atau kepercayaannya atau hak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan pemberian remisi kemudian diatur dalam Keppres 174/1999 dan PP No 28/2006. Remisi umum pada 17 Agustus dan remisi khusus hari besar keagamaan diberikan jika narapidana berlakuan baik selama menjalani pidana. Dapat juga diberikan remisi tambahan jika berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiatan pembinaan di lapas. Berdasarkan PP No 28/2006, napi kejahatan korupsi, pembalakan liar, terorisme dan narkotika tidak mendapat remisi sebelum menjalani sepertiga masa tahanannya. Sementara, napi kejahatan lainnya, dapat memperoleh remisi setelah menjalani hukuman minimum 6 bulan.

Selama ini, pemberian remisi seringkali kontroversial. Masyarakat hanya tahu jumlah napi yang diberikan remisi tanpa akuntabilitas dan transparansi. Remisi pun jadi lahan penyalahgunaan kekuasaan dan tumbuh kembangnya prilaku koruptif. Pemberian remisi sangat bergantung pada kebijakan tim pengawas atau penilai dari internal Lapas dan Kepala Lapas, sama sekali tidak ada prosedur pengawasan dari luar atau melibatkan penilaian dan partisipasi dayaguna dari para napi.

Tak heran, banyak keluhan, remisi bak dagangan, ada uang bisa belanja remisi. Kita masih ingat kontroversi pemberian remisi Rahardi Ramelan, terpidana kasus Bulog yang dinilai belum memenuhi syarat diberikan remisi pada 17 Agustus 2005, 2 hari setelah PK yang bersangkutan ditolak. Atau kontroversi pemberian total 31 bulan remisi bagi Tommy Soeharto. Andai terpidana itu bukan Rahardi atau Tommy, apakah juga mendapatkan remisi seperti itu?

Dengan mengacu semangat dan paradigma undang-undang Lapas dan hak semua napi mendapat remisi, maka remisi wajib diberikan pada napi termasuk "koruptor". Tidak ada yang salah soal ini. Namun, masyarakat selalu akan bertanya soal rasa keadilan. Karenanya, pemberian remisi perlu dibenahi agar prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan rasa keadilan masyarakat bisa dinikmati.

Pemerintah patut diapresiasi telah menegakkan aturan, seperti belum memberikan remisi kepada Rohmin Dahuri mantan Menteri Kelautan karena belum memenuhi persyaratan masa hukuman. Semoga, penegakan aturan terus dipertahankan, bukan saja mengukurnya dari masa hukuman melainkan juga syarat-syarat yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Read More..

Rabu, 01 Oktober 2008

Pancasila: Pengamalan Sila Ke-5 oleh DPR Rendah

Kata "keadilan" dimuat dalam pembukaan dan sejumlah pasal Undang-undang Dasar 1945. Kata "keadilan" dimuat bagian dari argumen mengapa bangsa ini menentang dan melawan segala bentuk penjajahan, sebagai sebuah hak segala bangsa. Kata "keadilan" juga digunakan sebagai dasar bagi perekonomian nasional. Keadilan sosial" merupakan salah satu dasar bangsa ini berhikmat membentuk pemerintah Negara Indonesia: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam sila ke-5 dasar negara Pancasila. Agaknya, tidak semua anggota DPR memahami nilai ini.

Dini hari tadi, 1 Oktober, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Ketua DPR RI Agung Laksono menandatangani dan membaca ikrar kesetiaan terhadap Pancasila.

Sebagai representasi dari wakil rakyat, tentu ikrar ini perlu diikuti upaya konkret semua anggota DPR untuk mewujudkan dasar-dasar negara, termasuk "keadilan sosial" bagi seluruh rakyat Indonesia. Antara lain, tidak mengulangi kesalahan membentuk undang-undang yang semakin menjauhkan cita-cita keadilan sosial, seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal atau peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan penambangan terbuka di "kawasan hutan lindung": undang-undang yang mengundang praktik-praktik neo-liberalisme dan perusakan lingkungan hidup.

Hampir 5 tahun, DPR dapat dikatakan belum mampu mendorong pemerintah untuk benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa ini. Apa ada hasil rencana interplasi kasus lumpur panas Lapindo? Apa muara hak angket kenaikan harga BBM?

Dalam perspektif hak asasi manusia, perwujudan keadilan sosial, berjalan paralel dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), termasuk hak atas perumahan, hak atas kesehatan, hak atas air, atau hak atas pendidikan bagi setiap orang.

Mengisi waktu hingga Pemilu 2009, sebaiknya DPR serius, antara lain mengawasi pelaksanaan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan. Dengan demikian, ikrar kesetiaan terhadap Pancasila yang telah dibacakan Ketua DPR, bisa terlihat wujudnya.

Semoga tanggungjawab yang dipikul para anggota DPR, sampai 2009, tidak terlupa atau dilupakan ditengah hiruk pikuk dan sibuk memasang spanduk!
Read More..

Senin, 29 September 2008

Segera terbitkan SK pemberhentian hakim agung

Pengerdilan isu revisi Undang-Undang MA sangat menyesatkan. Masalah perpanjangan usia hakim agung tidak memiliki dasar yang kuat untuk dilanjutkan. Tidak perlu ada perpanjangan usia hakim agung sampai dengan 70 tahun.

Revisi UU MA semestinya diletakkan sebagai tindak lanjut dari pertimbangan hukum dan amar putusan permohonan uji materil UU Kekuasaan Kehakiman (4/2004) dan UU Komisi Yudisial (22/2004)di MK oleh 31 hakim agung dalam perkara nomor 005/PUU-IV/2006.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta DPR dan Presiden merevisi UU KY dan melakukan perbaikan yang integral UU Kekuasan Kehakiman, UU MA dan UU MK untuk keperluan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap isu yang fundamental, yakni pengawasan dan sanksi terhadap hakim agung dan hakim konstitusi, serta hubungan antar lembaga, KY, MA dan MK.

Masalah di MA jangan sampai dibonsai sebatas perpanjangan usia pensiun. Masalah di MA jauh lebih fundamental. Mulai dari rekening liar, penolakan pemeriksaan biaya perkara oleh BPK, hingga persepsi peradilan Indonesia terburuk di Asia.

Kurun 2005 - 2007, KY telah menyampaikan 3.120 kasus yang mestinya mendapat tindak lanjut MA berkaitan dengan prilaku dan profesionalisme hakim.Satu contoh, beberapa waktu lalu KY menilai hakim pengadilan khusus tipikor Kresna Menon bermasalah termasuk direkomendasikan diberikan sanksi, namun Ketua MA Bagir Manan tetap mempromosikannya menjadi Waka PN Bandung. Kresna tersangkut kasus penyuapan hakim agung dengan terdakwa Harini Wijoso yang sudah divonis 4 tahun penjara. Kresna yang menjadi ketua majelis ketika itu, menolak menghadirkan Bagir Manan ke pengadilan untuk memberi kesaksian dalam kasus yang juga sempat menyeret nama Probosutedjo.

Tidak sedikit hakim yang juga menginginkan pembaruan dan memimpikan perbaikan. Hakim-hakim progresif ini perlu terus diidentifikasi dan tentu dipromosikan untuk menggantikan posisi hakim agung. Regenerasi di tubuh MA perlu untuk memberikan energi dan hawa baru untuk menjadi pelumas jalannya perbaikan di MA dan lembaga peradilan dibawahnya. Perpanjangan usia pensiun saat ini akan memacetkan regenerasi hakim agung.

Isu perpanjangan usia hakim agung jelas bukan prioritas. Boleh saja wacana ini dibuka 5 sampai 10 tahun lagi, atau sampai semua hakim agung di MA merupakan hasil seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial. Karenanya, surat keputusan pemberhentian hakim yang sudah memasuki usia 67 tahun mesti segera diproses dan diterbitkan, tanpa perlu berlama-lama.
Read More..
Load Counter