Kamis, 09 Oktober 2008

HUT TNI ke-63: Hentikan Perintah Pengosongan Rumah yang Dihuni Purnawirawan

Penggusuran paksa atau perintah pengosongan rumah dinas terjadi hampir setiap tahun. Korbannya ribuan purnawirawan TNI dan keluarganya. Praktik penggusuran paksa ini tidak hanya dialami purnawirawan berpangkat rendah, juga dialami mantan pimpian TNI sendiri. Sepuluh tahun reformasi TNI, belum mampu menjawab masalah perumahan bagi prajurit. Karenanya 5 agenda reformasi TNI yang dikemukakan Panglima TNI Djoko Susato dalam peringatan HUT TNI ke-6,3termasuk peningkatan kesejahteraan prajurit sangat relevan. Langkah paling cepat yang bisa dilakukan adalah: moratorium penggusuran paksa dan perintah pengosongan rumah yang dihuni para purnawirawan TNI.

Beberapa contoh dapat dikemukakan. Di Makasar penolakan penggusuran sudah mulai pada 2001. Korbannya, antara lain para purnawirawan yang telah mendiami rumah dinas sejak 1956.

Februari 2004 penggusuran rumah purnawirawan TNI AU terjadi di jalan Mustang Polonia, Medan. Bahkan penggusuran terjadi dini hari pukul 05.30 bertepatan dengan hari raya Idul Adha, saat para pemilik rumah sedang menunaikan shalat. Korbannya, 3 orang purnawirawan berpangkat kolonel dan letkol.

Di Jakarta April 2004, perintah pengosongan rumah dilakukan bagi para purnawirawan TNI AD di komplek Gatot Subroto Jakarta. Korbannya kali ini mantan pimpinan TNI AD sendiri, seperti Mayjen TNI Purn Atam Surakusumah, Brigjen TNI Purn Ben Mboi, dan Brigjen Sudarso. Para purn Jenderal ini sempat didampingi oleh LBH Jakarta.

Di Surabaya pada 2006, penggusuran terjadi di daerah yang dihuni purnawirawan TNI AL di Surabaya. Didampingi LBH Surabaya, 8 orang perwakilan dari Badan Kontak TNI AL sempat mendatangi Komisi I DPR RI. Ditahun yang sama di bulan Maret, penggusuran dilakukan secara tertutup di Semarang. Dua orang purnawirawan Serka Mudakir dan Letkol Rubyni Slamet bahkan sempat mendirikan tenda di sekitar bundaran air mancur di jalan Pahlawan akibat rumah dinas mereka digusur.

Maret 2008, sekitar 350 jiwa diusir para purnawirawan dan keluarga TNI AD di Komplek Pejambon sempat juga menolak pengosongan rumah yang ditempati mereka selama puluhan tahun. Warga beralasan, lahan yang ditempati bukan aset TNI AD melainkan lahan peninggalan zaman Belanda yang dititipkan oleh gereja.

Selanjutnya, Agustus tahun ini, giliran sekitar 500 kepala keluarga di komplek Kodam 0505 Kramat Jati yang diperintahkan mengosongkan rumah yang ditempatinya. Menariknya, para penghuni bersikeras menolak penggusuran karana sejak ditinggali pada 1951 mereka membayar sendiri seluruh fasilitas termasuk listrik dan BWB. Pada bulan yang sama penggusuran juga menimpa 156 purnawirawan TNI AU di perumahan Dwikora Cimanggis Depok Jawa Barat.

Dari pengalaman mengadvokasi kasus, masalah penggusuran paksa dan perintah pengosongan rumah bagi purnawirawan seringkali berakar setidaknya dari 3 soal pokok. Pertama, pihak Mabes dinilai tidak memberikan lahan pengganti yang memadai. Kedua, tidak ada ganti kerugian yang adil. Ketiga, lahan atau rumah yang selama ini dihuni ditukar guling dan dijual ke pihak swasta.

Saat masih aktif para prajurit dipungut tabungan wajib perumahan. Selain itu warga seringkali bertahan dengan menggunakan dasar Peraturan Presiden Nomor 31/2005 tentang Rumah Dinas yang diperbolehkan untuk dihuni purnawirawan dan keluarganya. Langkah bijaksana jika Mabes TNI berhenti memberi perintah pengosongan rumah dinas atau rumah yang dihuni para purnawirawan, jika tidak ada relokasi, ressetlement, atau ganti kerugian yang adil!.
Read More..

Selasa, 07 Oktober 2008

Ekuador: Negara Pertama di Dunia yang Memuat Hak atas Perumahan, Hak atas Kota dan Hak atas Air dalam Konsitusi

Ekuador baru-baru ini mensahkan sebuah konstitusi baru. Menariknya, dalam konstitusi ini dimuat hak asasi setiap orang atas perumahan, hak atas kota dan hak atas air serta sanitasi. Dengan kata lain, Ekuador menjadi negara pertama yang mengadopsi norma dan standar internasional hak asasi manusia berkaitan dengan "housing rights", "the right to the city" dan "the right right to water and sanitation".

Jaminan hak-hak asasi dan hak fundamental tersebut, patut diapresiasi ditengah banyak pemerintahan mempraktikan penggusuran paksa, mencegah masyarakat miskin dan marjinal masuk ke ibukota dan kota besar, serta penerbitan kebijakan dan praktik privatisasi sumber dan mata air bagi kepentingan orang seorang dan badan hukum privat.

Hak atas perumahan memiliki sejumlah elemen yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara, utamanya pemerintah. Pertama, keamanan kepemilikan tanah (legal security of tenure). Tidak diperkenankan adanya pengambilan tanah masyarakat, walaupun untuk kepentingan umum, secara sewenang-wenang. Kedua, ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur, yang esesial bagi penduduk atau penghuni rumah, termasuk fasilitas kesehatan. Ketiga, keterjangkauan biaya. Dibanyak negara, bahkan disediakan perumahan sosial bagi penduduk miskin. Keempat, kenyamanan untuk ditinggali. Menjadi idaman bagi semua orang untuk memiliki rumah yang dapat melindungi diri dan keluarganya dari cuaca, termasuk bebas dari ancaman banjir. Kelima, ketersediaan akses bagi setiap orang, termasuk untuk penghuni yang disfable dan anak-anak. Keenam, lokasi yang dapat dijangkau dan menjangkau fasilitas sosial, pendidikan, pekerjaan dan lainnya. Dalam konteks ini, pemerintah mesti memperhatikan alat transportasi umum ke permukiman dan perumahan masyarakat. Terakhir, yang tak kalah penting, jaminan kesesuaian budaya untuk mengekspresikan identitas dan keberagaman budaya.

Hak atas kota, merupakan konsep dan kerangka kerja hak asasi manusia yang tengah berkembang didunia internasional. Hak atas kota ini memberikan obligasi bagi pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang mencegah tanah sebagai komoditas (komodifikasi lahan) oleh spekulan, yang mengakibatkan tergusurnya masyarakat miskin dari wilayah perkotaan. Hak atas kota ini juga memberikan obligasi bagi pemerintah untuk mewujudkan keadilan ekonomi, lingkungan hidup serta partisipasi masyarakat secara penuh (full) dan berdayaguna (meaningfull) bagi tata kota dan pembangangunan perkotaan.

Sementara, hak atas air mengandung jaminan bagi setiap orang untuk mendapatkan dan menikmati air bersih dan sumber air untuk kehidupannya. Tidak sedikit penduduk meninggal dunia akibat kekurangan air, dehidrasi, dan air yang tercemar (General Comment 15, CESCR, 2002).

Dimuatnya hak-hak dasar dan fundamental tersebut dalam konstitusi Ekuador, semoga menjadi inspirasi bagi DPR dan Pemerintah Indonesia juga bagi DPRD dan Pemda, yang diharapkan menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang memberikan jaminan pemenuhan hak asasi manusia, ketimbang membahas peraturan yang diskriminatif bahkan justeru melanggar hak asasi dan kebebasan fundamental warga negara.
Read More..

Minggu, 05 Oktober 2008

Skenario dan Lobi Tingkat Tinggi Perpanjangan Usia Pensiun 70 Tahun Hakim Agung

Diucapkan selamat ulang tahun bagi pak Bagir Manan yang hari ini, 6 Oktober 2008, genap berusia 67 tahun. Hari ini juga mestinya Ketua Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat karena telah genap masuk dalam batas usia pensiun. Karenanya, berdasarkan aturan perundang-undangan tentang pemberhentian pimpinan Mahkamah Agung, Presiden mesti segera menerbitkan Keputusan Presiden tentang pemberhentian Bagir Manan (Pasal 11 (1) UU 5/2004).

Tahun ini, selain Bagir Manan, ada 7 hakim agung yang memasuki usia pensiun, yakni: Marianna Sutadi Nasution (21 Oktober), yang juga Wakil Ketua Bidang Yudisial; Parman Suparman Ketua Muda Pidana (13 Oktober); Kaimuddin Salle (23 Oktober); Iskandar Kamil Ketua Muda Pidana Khusus (31 Oktober); Soedarno (9 November); German Hoediarto Ketua Muda Militer (24 November), dan Andar Purba (19 Desember).

Masalah kekosongan pimpinan MA Agung, memang sengaja dibuat, dan direncanakan sistematis. Hal ini, ditunjukan dari fakta: (1) Ketua Hakim Agung tidak segera mengusulkan pemberhentian dirinya kepada Presiden, karena akan memasuki usia pensiun; (2) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak segera menerbitkan Keppres tentang pemberhentian dengan hormat Ketua Mahkamah Agung; (3) Pimpinan Mahkamah Agung tidak menyiapkan pergantian pimpinan termasuk jabatan Ketua Mahkamah Agung; (4) pembahasan revisi UU MA yang terkesan "kejar setoran"; (5) kecendrungan Panja revisi UU MA, 21 September lalu, yang menyepakati perpanjangan usia pensiun hakim agung sampai 70 tahun. Hanya Fraksi PDIP yang bertahan di usia 67 tahun.

Muara dari rencana tersebut tentunya adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang memperpanjang usia pensiun hakim agung 67 tahun. Perpu ini agaknya akan disetujui DPR untuk menjadi UU, karena di DPR sendiri, kecenderungan fraksi-fraksi DPR akan menerima sesuai dengan hasil Panja Revisi MA. Alternatif lain, UU MA didesak untuk segera disahkan.

Usulan pemberhentian hakim ke Presiden, paling lambat 14 hari. Tidak jelas apakah Bagir Manan telah meminta Keputusan Presiden untuk pemberhentian dirinya. Bagir Manan sendiri telah dua kali memperpanjang sendiri usia pensiun dari 65 tahun menjadi 67 tahun serta memperpanjang batas usia aktif dengan memperpanjang masa tugas para hakim agung, sehingga kemudian terpilih lagi sebagai Ketua MA.

Pada 19 Januari 2006, kepada wartawan/jurnalis di gedung MA, Bagir Manan yang memasuki usia pensiun 65 tahun menyatakan perpanjangan usia pensiun bagi dirinya dan 9 hakim agung lain, disebabkan dua alasan pokok: karena para hakim yang memasuki usia pensiun ini bisa dikatakan cakap dan masih dibutuhkan untuk memeriksa perkara MA yang jumlahnya banyak. Dua tahun, berulang, alasan-alasan klasih seperti ini berulangkali dikemukakan, sehingga perlu lagi diperpanjang hingga 70 tahun. Lalu apa artinya, kerja para hakim agung selama 2 tahun ini?

Hari ini pun jika mau, bisa dilakukan pemilihan kembali pimpinan MA. Bisa juga para hakim agung secara aklamasi menunjuk hakim agung untuk menggantikan Bagir Manan. Hal ini tentu dengan dasar argumen yang paling kuat: untuk memberikan contoh, MA sebagai pucuk kekuasaan kehakiman tidak melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan.

Saat bukan persiapan penggantian pimpinan yang terjadi. Sebaliknya, sekarang bisa jadi sudah ada diskusi serius untuk penerbitan Perpu usia pensiun hakim agung. Kalau skenario usia pensiun 70 tahun ini terwujud, acungan jempol bagi Bagir Manan yang piawai. Genap sudah kekuasaan dan otoritas digunakan untuk kepentingan diluar keadilan dan aspirasi masyarakat. Inilah yang disebut skenario dan lobi tingkat tinggi: sebuah skenario dan lobi yang membahayakan reformasi di puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia!
Read More..

Parliamentary Threshold Bertentangan dengan Konstitusi

Tak akan lama, isu "parliamentary threshold" (PT) akan menyemarakan lagi pemberitaan media, terutama setelah penyusunan dan penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR RI yang dijadwalkan 9 - 26 Oktober 2008. Awal Agustus lalu, rencana pengajuan judicial review di MK oleh belasan Parpol sempat disampaikan Ketua Umum PPD Oesman Sapta yang dipercaya menjadi koordinator Forum Komunikasi 18 Parpol. Tidak tertutup kemungkinan Parpol yang akan terlibat menjadi 22 Parpol dengan tambahan 4 Parpol yang ditetapkan KPU belakangan.

Berdasarkan hasil Pemilu 2004, hanya 8 Parpol yang dapat memenuhi ketentuan perolehan suara PT dan memperoleh kursi, yakni: (1) Partai Golkar (23,27%); (2) PDIP (19.82%); (3) PPP (10.55%); (4) Partai Demokrat (10,00%); (5) PAN (9,64%); (6) PKB (9,45%) dan (7) PKS (8,18%); (8) PBR (2,55%). Jika mengacu pada hasil Pemilu 2004, diperkirakan tidak sampai 10 Parpol yang bisa mendudukan calegnya di kursi DPR RI, selebihnya bisa dibilang Parpol peserta Pemilu yang lain bergotong royong menyumbang suara untuk parpol-parpol yang memenuhi syarat 2,5 ambang batas perolehan suara dari jumlah suara yang sah secara nasional. Dengan kata lain, Parpol yang tidak memperolah 2,5% suara, berdasarkan Pasal 202 (1) UU 10/2008 tidak dapat mendudukan wakilnya untuk duduk di Senayan. Ketentuan PT ini tidak berlaku untuk DPRD tingkat I dan II.

Saat ini, 38 Parpol - bertambah 14 Parpol baru dibandingkan Pemilu 2004 - telah ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2009. Empat parpol yang nomor urutnya diundi belakangan ditetapkan KPU berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindak lanjut dari permohonan judicial review 7 Parpol terhadap UU Pemilu yang dikabulkan MK beberapa waktu lalu (Putusan Perkara No 12/PUU-VI/2008). Ketujuh parpol ini memberikan kuasa hukum pada para advokat, dipimpin Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia untuk menguji Pasal 316(d) UU Pemilu.

Sejumlah argumen penolakan aturan PT yang dihimpun dari berbagai media, antara lain: pertama, belum tentu 8 Parpol nanti bisa memenuhi syarat 2,5 persen. Artinya, suara terbagi rata, akibatnya tidak ada satu parpol pun yang bisa mengirimkan wakilnya ke DPR RI. Hal ini tentu bisa saja terjadi, namun tidak sedikit orang yang meragukan benar-benar terjadi dalam praktek.

Kedua, aturan PT dinilai memasung demokrasi dan tidak adil, karena menghilangkan begitu banyak suara pemilih salah satu parpol, yang suaranya dibagikan ke Parpol yang memenuhi PT. Di Jerman, yang menerapkannya, kursi parpol yang tidak mencapai kualifikasi PT dibiarkan kosong, sehingga jumlah anggota parlemen Jerman fluktuatif.

Argumen ketiga, aturan PT berpotensi menimbulkan konflik, jika masyarakat pemilih tidak terima suaranya dialihkan ke Parpol lain, yang tidak sesuai dengan pilihan dan aspirasinya.

Untuk rencana pengajuan judicial review di MK, telah dua kali pertemuan dilaksanakan dengan pihak Parpol dan Badan Pengurus YLBHI. Saat ini telah dirumuskan sejumlah pasal UUD 1945 yang telah dilanggar oleh aturan PT. Jika dikabulkan kembali oleh MK seperti uji materil Pasal 316 huruf (d), maka proses perolehan jumlah kursi sama seperti pada Pemilu lalu. Baiknya, pengujian ini diajukan dan disidangkan di MK sebelum proses pemungutan suara yang dijadwalkan pada 5 April 2009.

Berdasarkan Keputusan KPU 9/2008, penetapan dan pengumuman calon terpilih untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD dilaksanakan pada 13 - 20 Mei 2009.

Lampiran

Forum 18 Parpol:
1. Partai Persatuan Daerah (PPD);
2. Partai Barisan Nasional (Barnas);
3. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP);
4. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra);
5. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura);
6. Partai Indonesia Sejahtera (PIS);
7. Partai Karya Perjuangan (PKP);
8. Partai Demokrasi Kebangsaan Indonesia (PDKI);
9. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU);
10. Partai Kedaulatan (PK);
11. Partai Matahari Bangsa (PMB);
12. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK);
13. Partai Pemuda Indonesia (PPI);
14. Partai Patriot (PP);
15. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN);
16. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI);
17. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB);
18. Partai Republik Nusantara (PRN).
Read More..
Load Counter