Sabtu, 29 Agustus 2009

Tidak Ada Sistem Quota Jaksa menjadi Pimpinan KPK

Tak menunggu lama, setelah pelimpahan berkas Antasari Azhar (AA) dari kepolisian ke kejaksaan (25/8), pihak Kejaksaan agung menggadang-gadang dua nama pengganti pimpinan KPK ini. Jaksa Agung Hendarman Supandji pada 28 Agustus lalu menyatakan akan menyiapkan nama-nama pengganti Antasari. Setidaknya ada 2 arti dibalik pernyataan ini.

Pertama, artinya pihak kejaksaan agung sudah yakin, status AA akan beralih menjadi terdakwa, sehingga secara otomatis Ketua KPK non-aktif ini akan diberhentikan oleh Presiden. AA sendiri sempat meminta jaksa penuntut umum meneliti kembali berkas untuk menentukan apakah kasusnya layak dilimpahkan ke pengadilan. Sementara Hendarman malah berharap berkas kasus ini bisa dilimpahkan ke pengadilan pada 10 September.

Kedua, boleh jadi Hendarman berpikir, pengganti AA mesti dari kejaksaan. Jika ini benar, patut kita koreksi.

Tidak ada satu pun pasal dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa pimpinan KPK mesti berasal dari profesi jaksa. UU hanya menentukan 11 persyaratan seseorang untuk bisa mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Empat diantaranya: berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan; berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan setinggi-tingginya 65 tahun; tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.

Tidak ada larangan bagi jaksa untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Periode pimpinan KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, yang juga mantan jaksa bersama pimpinan yang lain telah berhasil meletakkan pondasi lembaga ini, sehingga mendapat kepercayaan masyarakat. Namun sekali lagi keliru, jika pengganti AA mesti apalagi dipaksakan dari kejaksaan.

Entah darimana asalnya, dari pengalaman sebelumnya, ada anggota tim seleksi dan anggota DPR RI yang berpandangan perlunya quota pimpinan KPK yang berasal dari kejaksaan. Salah satu alasan yang sering dikemukakan, antara lain karena diperlukan orang yang berpengalaman dibidang penyidikan. Alasan ini tentu tidak bisa diabaikan, namun tetap tidak menjadi keharusan. Karena UU tidak menyebut mesti berpengalaman sebagai penyidik atau penuntutan. Sebagai informasi, saat ini, Wakil Ketua Bidang Penindakan, yang membawahi subbidang penyelidikan; penyidikan dan penuntutan adalah Chandra M Hamzah, yang sebelumnya adalah seorang advokat, mantan asisten pengacara publik LBH Jakarta. Tambahan, untuk penyidikan, KPK juga telah memiliki Bibit Samad Rianto, yang punya pengalaman panjang di kepolisian, sebagai termasuk pernah menjadi Kapolda Kalimantan Timur. Untuk membuat dakwaan, tentu dengan mudah dilakukan, karena KPK sendiri didukung oleh jaksa-jaksa yang ditunjuk Jaksa Agung untuk diperbantukan di lembaga ini.

Sebaiknya semua argumen perihal proses pergantian pimpinan KPK, mesti mengacu kepada UU. Aturannya jelas, jika terjadi kekosongan salah seorang pimpinan KPK, maka Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR RI. Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan juga telah diatur dalam Pasal 29, 30, dan 31 UU 30/2002. Kita persilahkan Panitia Seleksi bekerja. Kita tunggu Presiden mengajukan 2 nama ke DPR untuk selanjutnya dipilih salah seorang untuk menggantikan AA.

Sebagai lembaga penegak hukum, kejaksaan juga diberikan amanat untuk memberantas korupsi di negeri ini. Jika memang ada nama yang akan diajukan pihak Kejaksaan Agung dinilai mumpuni dan punya karakter serta keberanian memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini, tidak salah jika nama ini yang justru yang memimpin institusi institusi kejaksaan agung! Tentu masyarakat mendukung jika Jaksa Agung dijabat oleh seseorang yang punya kaliber sama seperti pimpinan KPK.

Tidak ada komentar:

Load Counter