Selasa, 21 Oktober 2008

2 Tugas Pansus Orang Hilang: Menemukan 13 Korban Penculikan dan Mendorong Proses Hukum

"Hidupnya" Panitia Khusus yang dibentuk untuk Kasus Orang Hilang (Pansus Orang Hilang) DPR RI mendapat perhatian banyak kalangan. Terlebih setelah ketua Pansus Effendi Simbolon pada 18 Oktober lalu menyampaikan rencana pemanggilan pejabat dan mantan petinggi TNI yang diduga terkait dengan kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini. Padahal, Pansus sendiri sudah dibentuk pada awal tahun lalu, tepatnya hasil putusan sidang paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007. Saat itu penulis sudah pernah memberikan apresiasi terbentuknya Pansus ini. Salah satu harapan dari masyarakat, terutama keluarga korban Pansus yang dibentuk bisa memfasilitasi, menemukan 13 aktivis pro-demokrasi korban penculikan yang terjadi pada 1997/1998.

Rencana yang terkesan "tiba-tiba" tersebut tentu menimbulkan polemik. Ketua DPR RI Agung Laksono bahkan sempat akan memanggil Pansus untuk meminta klarifikasi. Sebaliknya Effendi Simbolon Ketua Pansus Orang Hilang menyatakan dirinya tidak perlu konsultasi dengan pimpinan layaknya manajer dengan dirut. Hari ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sempat menggelar rapat kabinet memanggil Menko Polkam, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kepala BIN, Kapolri, Mensesneg dan Seskab. Sempat Panglima TNI, Jaksa Agung dan Seskab secara tegas membantah berita negatif yang mengaitkan keterlibatan SBY dalam kasus orang hilang ini.

Secara khusus Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menyatakan TNI telah selesai menangani kasus orang hilang, yakni dengan melakukan pemeriksaan di pengadilan militer dan membentuk dewan kehormatan perwira.

Sementara petinggi Partai Demokrat membantah keterkaitan SBY saat menjabat sebagai Assospol Kassospol ABRI saat peristiwa penghilangan paksa itu terjadi. Selanjutnya, Partai Gerinda menyarankan agar Prabowo tidak menghadiri acara pemanggilan Pansus, karena dinilai merupakan manuver politik sesaat untuk menjegal calon presiden dalam Pemilu 2009 yang berlatar belakang militer. Ketua Fraksi Golkar sendiri sampai siang hari tadi belum memberikan persetujuan atas rencana pemanggilan sejumlah mantan pejabat militer.

Jika ada kepentingan politik dari Pansus, tentu bisa dipahami, karena memang dibentuk oleh DPR sebagai lembaga politik. Namun dari segi penegakan hukum, tentu harapannya keliru dibebankan kepada Pansus Orang Hilang ini. Dukungan politik yang sungguh-sungguh dari sebagian besar anggota DPR-lah yang diharapkan untuk mendorong proses hukum (pro-justitia) atas dugaan pelanggaran HAM berat ini, dengan muara kasus ini diperiksa dan diputus di pengadilan HAM ad hoc. Tujuan pemeriksaan di pengadilan ini, tentu tidak lain adalah mengungkapkan kebenaran dan memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga korban.

Saat ini, sudah bukan tempatnya Pansus mengulang pertanyaan-pertanyaan tentang kronologis, atau derita yang dirasakan para korban dan keluarga korban. Pansus tinggal membaca dokumen penyelidikan yang disusun Komnas HAM, berita acara pemeriksaan para korban yang selamat di kepolisian, dan seterusnya. Sekarang Pansus mesti mengerahkan segenap energi politiknya untuk membantu mencari kejelasan 13 korban yang masih belum diketahui rimbanya.

Ketigabelas korban itu: (1) Yani Afrie (2) Sony (3) Herman Hendrawan, (4) Dedi Hamdun, (5) Noval Alkatiri (6) Ismail (7) Suyat (8) Petrus Bima Anugerah (9) Wiji Thukul (10) Ucok Munandar Siahaan (11) Hendra Hambali (12) Yadin Muhidin, dan (13) Abdun Nasser. Peristiwa penghilangan paksa ini juga menimpa Leonardus alias Gilang yang belakangan ditemukan tewas. Sementara korban yang diculik dan dibebaskan, antara lain Mugianto, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Faisol Reza, Rahardja Waluyo Jati, Harjanto Taslam, Andi Arief, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan ST.

Tanpa ada keinginan dan keseriusan untuk memfasilitasi pencarian korban penculikan paksa dan mendorong proses hukum. Tak ada salahnya, penilaian masyarakat bahwa Pansus sedang mencari tulang didalam telur: hanya mencari-cari kesalahan orang!
Read More..
Load Counter