Jumat, 03 Oktober 2008

Operasi Yustisi Kependudukan, Solusi Ahli?

Operasi yustisi kependudukan (OYK) telah menjadi "tradisi" tahunan bagi aparat Pemda DKI. Setidaknya ada 2 masalah yang setiap tahun belum dipecahkan oleh Pemda DKI Jakarta. Pertama, kekeliruan paradigma dan semangat OYK. Kedua, kejahatan aparat yang tidak diberikan sanksi dan diproses hukum berkaitan dengan pelaksanaan OYK.

Sejak 1980-an, Pemda DKI telah melakukan operasi beraneka operasi yustisi, seperti pelanggaran ketertiban dan kebersihan lingkungan. Sementara operasi kependudukan sudah dimulai pada 1990-an. Pada 1996, misalnya, penduduk DKI sempat dihebohkan dengan OYK lewat kelancangan petugas operasi masuk dan mengeledah kamar dan kontrakan mahasiswi/karyawati dini hari menanyakan identitas. Belakangan OYK merupakan pekerjaan langganan petugas Pemda setelah lebaran.

Saat ini OYK didasarkan pada Perda DKI Jakarta No 4/2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, yang selanjutnya diatur secara teknis lewat instruksi Gubernur. Sebelum tahun 2004, Pemda DKI mendasarkan kebijakan operasi yustisi pada Perda 11/1988. Untuk tahun 2007, Pemda mengalokasikan lebih dari Rp 330 juta untuk OYK di 4 kotamadya, minus Jakarta Pusat.

Jika argumennya, OYK berdasarkan aturan mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, maka pada dasarnya kebijakan ini wajib mengikuti aturan yang lebih tinggi, yakni UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Mengikuti paradigma UU Adminduk, maka OYK juga mesti diterapkan berdasarkan norma dan standar hak asasi manusia, termasuk hak semua orang memiliki dokumen kependudukan dan pelayanan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Dengan kata lain, justeru Pemda DKI Jakarta mempermudah pelayanan bagi setiap penduduk yang ingin mendapatkan KTP DKI tanpa diskriminasi berdasarkan apapun.

Karenanya, setiap pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum seputar OYK mesti diproses juga secara hukum. Dari pengalaman operasi yustisi yang digelar sejak 1998, YLBHI dan LBH Jakarta seringkali mendapat pengaduan dan menemukan fakta penangkapan, penahanan tindakan penggeledahan sewenang-wenang, serta kekerasan aparat; proses persidangan yang ditempat yang tidak fair, dan terjadi praktek penelantaran dalam proses pemulangan penduduk ke daerah asal.

Dalam Perda 4/2004 sangat jelas dimuat aparat Pemda tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan dan atau penggeledahan. Jadi jika ada Satpol PP atau petugas Pemda lainnya mau melakukannya, anggota masyarakat punya hak melakukan penolakan atau perlawanan.

Semangat yang tertangkap dari operasi yustisi adalah penurunan angka penduduk yang datang ke jakarta. Hal ini seringkali didengar dengan klaim kesuksesan operasi yustisi ditunjukkan dari penurunan penduduk beberapa waktu paska lebaran tiap tahunnya.

Berdasarkan data dari dari pihak Pemda, setiap tahun, walaupun ada operasi yustisi, penduduk dari luar Jakarta, tetap berdatangan. Pada 2002, sebanyak 231.528 jiwa. Selanjutnya berturut-turut 204.830 orang; 190.356 orang; 180.767 orang; dan 124.427 orang pada 2003; 2004; 2005, dan 2006. Tahun kemarin, pihak Pemda menyatakan jumlah penduduk yang membonceng arus balik sebanyak 109.617 jiwa.

Jumlah penduduk DKI Jakarta per Maret 2007 berdasarkan hasil pencocokan dan penelitian dari RT/RW sudah mencapai 7.871.215 Jiwa. Sementara, berdasarkan data Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya per Januari 2008, jumlah penduduk DKI sudah mencapai 8.489.910. Artinya, tidak sampai setahun, penduduk Jakarta sudah bertambah 618.635 jiwa.

Masalah pertambahan penduduk di Jakarta, tentu tidak bisa hanya diselesaikan lewat operasi yustisi kependudukan kalau hanya kesuksesan alokasi ratusan juta rupiah ABPD DKI hanya diukur dari menurunnya jumlah pendatang seminggu atau dua minggu pasca lebaran. Terlalu banyak energi dan dampak negatif termasuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi lainnya yang timbul, selain dari klaim kesuksesan penurunan penduduk pendatang.

Masalah penduduk di DKI Jakarta, bukan hanya merupakan masalah pemerintah DKI Jakarta saja. Tanpa ada solusi bersama dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain dan Pemda DKI Jakarta sendiri, maka OYK selalu meninggalkan kisah pilu penduduk yang "dirazia" pasca lebaran. Sayang kalau kekuasaan dan dana digunakan hanya untuk mengejar setoran penurunan penduduk yang membonceng arus balik mudik para penduduk ke Jakarta.

Dimanapun di dunia, ibukota menjadi magnet bagi warga, begitu juga Jakarta bagi para pendatang yang tidak memiliki harapan dan penghasilan di daerah yang ditinggalkannya. Mari masalah penduduk ini kita "serahkan pada ahlinya".
Read More..

Kamis, 02 Oktober 2008

Benahi Kebijakan Pemberian Remisi

Tidak ada yang istimewa soal remisi. Pemberian remisi berulangkali heboh saat diberikan kepada narapidana tertentu, seperti napi tindak pidana korupsi yang mantan pejabat atau "orang kuat. Kali ini 1.125 napi di Lapas Cipinang mendapat remisi, termasuk 37 napi kejahatan korupsi, antara lain yang dinikmati mantan Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah, terpidana kasus korupsi pembukaan lahan kelapa sawit sejuta hektar, Abdullah Puteh mantan Gubernur NAD kasus korupsi pengadaan helikopter dan Pono Waluyo, terpidana kasus suap di MA.

Semua terpidana yang masuk dalam Lapas pada dasarnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Ini berlaku bagi narapidana tindak pidana umum, atau tindak pidana korupsi dan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia. Lewat Lapas, gagasannya, semua napi menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Inilah paradigma sistem pemasyarakatan yang dianut dalam UU 12/1995.

Orang yang dimasukan ke dalam Lapas, adalah orang yang hilang kemerdekaannya - sebagai salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan padanya. Namun selama menjalani hukuman, napi sebagai manusia, tetap melekat hak asasi dan hak-hak hukumnya, antara lain mendapatkan remisi atau pengurangan masa pidana, cuti mengujungi keluarga, pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang bebas, selain hak fundamental lain, seperti: melaksanakan ibadah menurut agama atau kepercayaannya atau hak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan pemberian remisi kemudian diatur dalam Keppres 174/1999 dan PP No 28/2006. Remisi umum pada 17 Agustus dan remisi khusus hari besar keagamaan diberikan jika narapidana berlakuan baik selama menjalani pidana. Dapat juga diberikan remisi tambahan jika berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiatan pembinaan di lapas. Berdasarkan PP No 28/2006, napi kejahatan korupsi, pembalakan liar, terorisme dan narkotika tidak mendapat remisi sebelum menjalani sepertiga masa tahanannya. Sementara, napi kejahatan lainnya, dapat memperoleh remisi setelah menjalani hukuman minimum 6 bulan.

Selama ini, pemberian remisi seringkali kontroversial. Masyarakat hanya tahu jumlah napi yang diberikan remisi tanpa akuntabilitas dan transparansi. Remisi pun jadi lahan penyalahgunaan kekuasaan dan tumbuh kembangnya prilaku koruptif. Pemberian remisi sangat bergantung pada kebijakan tim pengawas atau penilai dari internal Lapas dan Kepala Lapas, sama sekali tidak ada prosedur pengawasan dari luar atau melibatkan penilaian dan partisipasi dayaguna dari para napi.

Tak heran, banyak keluhan, remisi bak dagangan, ada uang bisa belanja remisi. Kita masih ingat kontroversi pemberian remisi Rahardi Ramelan, terpidana kasus Bulog yang dinilai belum memenuhi syarat diberikan remisi pada 17 Agustus 2005, 2 hari setelah PK yang bersangkutan ditolak. Atau kontroversi pemberian total 31 bulan remisi bagi Tommy Soeharto. Andai terpidana itu bukan Rahardi atau Tommy, apakah juga mendapatkan remisi seperti itu?

Dengan mengacu semangat dan paradigma undang-undang Lapas dan hak semua napi mendapat remisi, maka remisi wajib diberikan pada napi termasuk "koruptor". Tidak ada yang salah soal ini. Namun, masyarakat selalu akan bertanya soal rasa keadilan. Karenanya, pemberian remisi perlu dibenahi agar prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan rasa keadilan masyarakat bisa dinikmati.

Pemerintah patut diapresiasi telah menegakkan aturan, seperti belum memberikan remisi kepada Rohmin Dahuri mantan Menteri Kelautan karena belum memenuhi persyaratan masa hukuman. Semoga, penegakan aturan terus dipertahankan, bukan saja mengukurnya dari masa hukuman melainkan juga syarat-syarat yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Read More..

Rabu, 01 Oktober 2008

Pancasila: Pengamalan Sila Ke-5 oleh DPR Rendah

Kata "keadilan" dimuat dalam pembukaan dan sejumlah pasal Undang-undang Dasar 1945. Kata "keadilan" dimuat bagian dari argumen mengapa bangsa ini menentang dan melawan segala bentuk penjajahan, sebagai sebuah hak segala bangsa. Kata "keadilan" juga digunakan sebagai dasar bagi perekonomian nasional. Keadilan sosial" merupakan salah satu dasar bangsa ini berhikmat membentuk pemerintah Negara Indonesia: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam sila ke-5 dasar negara Pancasila. Agaknya, tidak semua anggota DPR memahami nilai ini.

Dini hari tadi, 1 Oktober, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Ketua DPR RI Agung Laksono menandatangani dan membaca ikrar kesetiaan terhadap Pancasila.

Sebagai representasi dari wakil rakyat, tentu ikrar ini perlu diikuti upaya konkret semua anggota DPR untuk mewujudkan dasar-dasar negara, termasuk "keadilan sosial" bagi seluruh rakyat Indonesia. Antara lain, tidak mengulangi kesalahan membentuk undang-undang yang semakin menjauhkan cita-cita keadilan sosial, seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal atau peraturan perundang-undangan yang memperbolehkan penambangan terbuka di "kawasan hutan lindung": undang-undang yang mengundang praktik-praktik neo-liberalisme dan perusakan lingkungan hidup.

Hampir 5 tahun, DPR dapat dikatakan belum mampu mendorong pemerintah untuk benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa ini. Apa ada hasil rencana interplasi kasus lumpur panas Lapindo? Apa muara hak angket kenaikan harga BBM?

Dalam perspektif hak asasi manusia, perwujudan keadilan sosial, berjalan paralel dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), termasuk hak atas perumahan, hak atas kesehatan, hak atas air, atau hak atas pendidikan bagi setiap orang.

Mengisi waktu hingga Pemilu 2009, sebaiknya DPR serius, antara lain mengawasi pelaksanaan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan. Dengan demikian, ikrar kesetiaan terhadap Pancasila yang telah dibacakan Ketua DPR, bisa terlihat wujudnya.

Semoga tanggungjawab yang dipikul para anggota DPR, sampai 2009, tidak terlupa atau dilupakan ditengah hiruk pikuk dan sibuk memasang spanduk!
Read More..

Senin, 29 September 2008

Segera terbitkan SK pemberhentian hakim agung

Pengerdilan isu revisi Undang-Undang MA sangat menyesatkan. Masalah perpanjangan usia hakim agung tidak memiliki dasar yang kuat untuk dilanjutkan. Tidak perlu ada perpanjangan usia hakim agung sampai dengan 70 tahun.

Revisi UU MA semestinya diletakkan sebagai tindak lanjut dari pertimbangan hukum dan amar putusan permohonan uji materil UU Kekuasaan Kehakiman (4/2004) dan UU Komisi Yudisial (22/2004)di MK oleh 31 hakim agung dalam perkara nomor 005/PUU-IV/2006.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta DPR dan Presiden merevisi UU KY dan melakukan perbaikan yang integral UU Kekuasan Kehakiman, UU MA dan UU MK untuk keperluan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap isu yang fundamental, yakni pengawasan dan sanksi terhadap hakim agung dan hakim konstitusi, serta hubungan antar lembaga, KY, MA dan MK.

Masalah di MA jangan sampai dibonsai sebatas perpanjangan usia pensiun. Masalah di MA jauh lebih fundamental. Mulai dari rekening liar, penolakan pemeriksaan biaya perkara oleh BPK, hingga persepsi peradilan Indonesia terburuk di Asia.

Kurun 2005 - 2007, KY telah menyampaikan 3.120 kasus yang mestinya mendapat tindak lanjut MA berkaitan dengan prilaku dan profesionalisme hakim.Satu contoh, beberapa waktu lalu KY menilai hakim pengadilan khusus tipikor Kresna Menon bermasalah termasuk direkomendasikan diberikan sanksi, namun Ketua MA Bagir Manan tetap mempromosikannya menjadi Waka PN Bandung. Kresna tersangkut kasus penyuapan hakim agung dengan terdakwa Harini Wijoso yang sudah divonis 4 tahun penjara. Kresna yang menjadi ketua majelis ketika itu, menolak menghadirkan Bagir Manan ke pengadilan untuk memberi kesaksian dalam kasus yang juga sempat menyeret nama Probosutedjo.

Tidak sedikit hakim yang juga menginginkan pembaruan dan memimpikan perbaikan. Hakim-hakim progresif ini perlu terus diidentifikasi dan tentu dipromosikan untuk menggantikan posisi hakim agung. Regenerasi di tubuh MA perlu untuk memberikan energi dan hawa baru untuk menjadi pelumas jalannya perbaikan di MA dan lembaga peradilan dibawahnya. Perpanjangan usia pensiun saat ini akan memacetkan regenerasi hakim agung.

Isu perpanjangan usia hakim agung jelas bukan prioritas. Boleh saja wacana ini dibuka 5 sampai 10 tahun lagi, atau sampai semua hakim agung di MA merupakan hasil seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial. Karenanya, surat keputusan pemberhentian hakim yang sudah memasuki usia 67 tahun mesti segera diproses dan diterbitkan, tanpa perlu berlama-lama.
Read More..
Load Counter