Kamis, 02 Oktober 2008

Benahi Kebijakan Pemberian Remisi

Tidak ada yang istimewa soal remisi. Pemberian remisi berulangkali heboh saat diberikan kepada narapidana tertentu, seperti napi tindak pidana korupsi yang mantan pejabat atau "orang kuat. Kali ini 1.125 napi di Lapas Cipinang mendapat remisi, termasuk 37 napi kejahatan korupsi, antara lain yang dinikmati mantan Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah, terpidana kasus korupsi pembukaan lahan kelapa sawit sejuta hektar, Abdullah Puteh mantan Gubernur NAD kasus korupsi pengadaan helikopter dan Pono Waluyo, terpidana kasus suap di MA.

Semua terpidana yang masuk dalam Lapas pada dasarnya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana. Ini berlaku bagi narapidana tindak pidana umum, atau tindak pidana korupsi dan kejahatan pelanggaran berat hak asasi manusia. Lewat Lapas, gagasannya, semua napi menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahannya lagi. Inilah paradigma sistem pemasyarakatan yang dianut dalam UU 12/1995.

Orang yang dimasukan ke dalam Lapas, adalah orang yang hilang kemerdekaannya - sebagai salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan padanya. Namun selama menjalani hukuman, napi sebagai manusia, tetap melekat hak asasi dan hak-hak hukumnya, antara lain mendapatkan remisi atau pengurangan masa pidana, cuti mengujungi keluarga, pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang bebas, selain hak fundamental lain, seperti: melaksanakan ibadah menurut agama atau kepercayaannya atau hak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan pemberian remisi kemudian diatur dalam Keppres 174/1999 dan PP No 28/2006. Remisi umum pada 17 Agustus dan remisi khusus hari besar keagamaan diberikan jika narapidana berlakuan baik selama menjalani pidana. Dapat juga diberikan remisi tambahan jika berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, membantu kegiatan pembinaan di lapas. Berdasarkan PP No 28/2006, napi kejahatan korupsi, pembalakan liar, terorisme dan narkotika tidak mendapat remisi sebelum menjalani sepertiga masa tahanannya. Sementara, napi kejahatan lainnya, dapat memperoleh remisi setelah menjalani hukuman minimum 6 bulan.

Selama ini, pemberian remisi seringkali kontroversial. Masyarakat hanya tahu jumlah napi yang diberikan remisi tanpa akuntabilitas dan transparansi. Remisi pun jadi lahan penyalahgunaan kekuasaan dan tumbuh kembangnya prilaku koruptif. Pemberian remisi sangat bergantung pada kebijakan tim pengawas atau penilai dari internal Lapas dan Kepala Lapas, sama sekali tidak ada prosedur pengawasan dari luar atau melibatkan penilaian dan partisipasi dayaguna dari para napi.

Tak heran, banyak keluhan, remisi bak dagangan, ada uang bisa belanja remisi. Kita masih ingat kontroversi pemberian remisi Rahardi Ramelan, terpidana kasus Bulog yang dinilai belum memenuhi syarat diberikan remisi pada 17 Agustus 2005, 2 hari setelah PK yang bersangkutan ditolak. Atau kontroversi pemberian total 31 bulan remisi bagi Tommy Soeharto. Andai terpidana itu bukan Rahardi atau Tommy, apakah juga mendapatkan remisi seperti itu?

Dengan mengacu semangat dan paradigma undang-undang Lapas dan hak semua napi mendapat remisi, maka remisi wajib diberikan pada napi termasuk "koruptor". Tidak ada yang salah soal ini. Namun, masyarakat selalu akan bertanya soal rasa keadilan. Karenanya, pemberian remisi perlu dibenahi agar prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan rasa keadilan masyarakat bisa dinikmati.

Pemerintah patut diapresiasi telah menegakkan aturan, seperti belum memberikan remisi kepada Rohmin Dahuri mantan Menteri Kelautan karena belum memenuhi persyaratan masa hukuman. Semoga, penegakan aturan terus dipertahankan, bukan saja mengukurnya dari masa hukuman melainkan juga syarat-syarat yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Load Counter