Selasa, 25 Agustus 2009

Mewajibkan Birokrasi Berbahasa Daerah Melanggar Konstitusi

Tak salah jika seseorang memperoleh manfaat dari budaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya. Tak salah jika seseorang atau masyarakat menggunakan identitas budayanya ditengah perkembangan zaman dan peradaban. Tidak salah juga jika masyarakat memelihara dan mengembalikan nilai-nilai budayanya. Menjadi amanat konstitusi kepada pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional. Namun keliru jika suatu pemerintahan daerah mewajibkan pegawai pemda menggunakan bahasa tertentu dengan dalih melestarikan bahasa, dengan alasan mempertahankan dan menunjukkan kebanggaan pada budaya adiluluhung.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubowono X pada 15 Agustus lalu mengeluarkan kebijakan seluruh pegawai dilingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) wajib berbahasa Jawa. Menurut Kepala Biro Umum, Hubungan Masyarakat (Humas) dan Protokol Pemprov DIY, Sigit Sapto Raharjo, kewajiban ini hanya untuk komunikasi lisan. Sementara untuk komunikasi tertulis tetap menggunakan bahasa Indonesia, karena terkait dengan arsip dan dokumentasi pemerintahan. Idenya, bisa diterima dan mudah disosialisasikan. Namun tidak dapat dibenarkan karena sejumlah alasan.

Pertama, dari aspek konstitusi, jelas kewajiban yang terkesan baik ini melanggar aturan dasar bernegara dan pemerintahan. Dalam konstitusi UUD 1945, dijelaskan Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Ketentuan ini berlaku untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat. Namun mewajibkan aparat birokrasi, tidak dapat disandarkan dalam pasal 32 UUD 1945. Sebagai aparat publik, maka melekat Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan "Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia".

Mengapa demikian? Sejatinya birokrasi merupakan pegawai negara yang berfungsi sebagai pegawai publik, bukan bawahan pemerintah. Di Indonesia instansi negara sejak lama direduksi menjadi instansi pemerintah dalam hukum administrasi (administratief recht atau bestuurech), padahal yang lebih tepat birokrasi merupakan bagian dari administrasi negara (verwaltung). Pipit Kartawidjaya, dalam kuliah umum di YLBHI tahun lalu sempat memberi penjelasan bahwa birokrasi bukanlah kepanjangan tangan apalagi bawahan pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi merupakan abdi negara, bukan abdi kekuasaan apalagi tunduk pada kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang. Doktrin lahir dengan dasar pemikiran, kepala pemerintahan bisa saja berganti, namun alat negara atau birokrasinya tetap.

Kedua, diranah publik, para pemuda bangsa ini telah mengikrarkan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, yang bersumpah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sekali lagi, karena birokrasi merupakan aparat publik, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia bukan bahasa suku tertentu.

Jika tujuan Sri Sultan Hamengkubowono X adalam melestarikan bahasa, maka yang mestinya dilakukan Pemda DIY adalah menjamin hak dan kebebasan setiap orang untuk berperan serta dalam kehidupan budaya (to take part in cultural life), seperti yang dijamin secara eksplisit dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya - yang telah diratifikasi melalui UU 11/2005. Jadi regulasi yang diterbitkan adalah untuk memberikan seluas-luasnya kesempatan dan sarana bagi pelestarian bahasa dikalangan masyarakat dikalangannya sendiri (forum internum), dirana privat atau wilayah oikos (res privata atau rumah tangga). Ketika menyangkut fungsi publik, maka berlakulah bahasa yang disepakati sebagai bahasa pemersatu: bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan.

Ketiga, surat keputusan atau regulasi yang diterbitkan Pemda DIY justru dapat jatuh ke juran dan praktik diskriminasi berdasarkan bahasa. Karena dalam praktik bisa terjadi sanksi karena bahasa, seleksi atas dasar keterampilan berbahasa atau menutup peluang bagi suku lain yang berminat melamar menjadi aparat birokrasi di provinsi ini karena tidak dapat berbahasa Jawa.

Sebagai tambahan, kebijakan tersebut sama sekali tidak berdasar karena tidak ada alasan hukum yang jelas dan rasional. Alasan mempertahankan dan menunjukkan kebanggaan pada budaya adiluluhung bukanlah alasan hukum. Karena bisa disalahgunakan. Sebagai ilustrasi, kali ini diwajibkan berkomunikasi berbasa Jawa. Lain waktu, dengan alasan yang sama, aparat birokrasi diwajibkan mesti bisa menari klasik dan asli Yogyakarta. Kita setuju bahasa dan budaya Jawa dilestarikan, tapi bukan dengan cara mewajibkannya kepada pegawai publik, terlebih saat menjalankan fungsi pelayanannya!

Tidak ada komentar:

Load Counter