Jumat, 17 Oktober 2008

Penyidikan Prajurit oleh Polisi: Panglima TNI dan Kapolri Perlu Bertemu

Sejak pemisahan TNI dan Polri, secara otomatis sejumlah peraturan perundang-undangan perlu diubah untuk mengakomodasi semangat reformasi 1998. Diantaranya, perubahan Undang-Undang tentang Peradilan Militer. UU TNI mengamanatkan dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, semua prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan umum (Pasal 65 ayat (2) UU 34/2004). Salah satu pasal yang sekarang "keras" pembahasannya yakni yang berkaitan dengah proses dan prosedur penyidikan bagi anggota TNI.

Pemerintah "bersikeras" mengusulkan jika terjadi tindak pidana umum yang dilakukan anggota NTI maka proses penyidikannya dilakukan oleh atasan yang berhak menghukum (Ankum) atau oditur. Salah satu kekhawatiran dan dasar argumennya, dikhawatirkan jika penyidikan dilakukan polisi akan terjadi bentrok dan konflik dengan prajurit dilapangan. Menanggapi usulan pemerintah, per 16 Oktober 2008, mayoritas fraksi di DPR menolak usulan ini. Sementara PAN, PBR dan PPP berpendapat lain. PKB dan PDS tidak menentukan sikap yang jelas.

Sejak Kapolri masih dijabat Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, pihak Polri sudah menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan ketentuan baru itu jika UU Pengadilan Militer disahkan. Sementara Marsekal Djoko Suyanto saat masih menjabat sebagai Panglima TNI sempat menyatakan pihak TNI menyerahkan sepenuhnya keputusan RUU Peradilan Militer pada Pemerintah dan DPR.

Kekhawatiran terjadinya keributan dilapangan, seperti dilontarkan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sangat beralasan dan kuat. Namun, tentu mesti dicarikan solusinya agar tidak merusak prosedur hukum acara pidana umum yang selama ini dilakukan. Solusi yang bisa diambil antara lain, pertam, ada aturan peralihan, dilakukan secara bertahap. Kedua, tahap awal, bisa saja polisi didampingi oleh polisi militer saat melakukan penyidikan. Ketiga, sosialisasi yang intensif sejak saat ini dan terutama setelah UU Peradilan Militer disahkan. Saat ini, Presiden bersama-sama Panglima TNI dan Kapolri sebaiknya bertemu membicarakan masalah ini.

Hukum pidana berlaku untuk semua orang, tanpa memandang statusnya, entah itu warga negara bisa, prajurit, jenderal bahkan presiden sekalipun. Karenanya, hukum acara yang digunakan pun sama, di Indonesia, digunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHAP disebutkan, mereka yang diberi kewenangan penyidikan (kasus pidana umum) adalah polisi dan PNS yang diberi kewenangan tertentu atau penyidik PNS. "Lha penyidik militer (polisi militer) kan tidak termasuk karena dia tidak masuk dua kategori tadi," ujar Patra. Berdasarkan KUHAP, penyidik adalah pejabat polri atau pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang diberi wewenang khusus (Pasal 1 angka (1) KUHAP). Polisi militer bukanlah pegawai negeri sipil. Karenanya, menurut KUHAP tidak dapat melakukan penyidikan perkara tindak pidana umum.

Sekali lagi sosialisasi mengenai "aturan baru" dilingkungan TNI sangat perlu. Tentunya, tidak ada seorang panglima dan komandan yang mau melindungi prajuritnya yang malakukan kejahatan. Usulan pemerintah untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada polisi militer jelas akan merusak asas-asas hukum acara pidana umum yang berlaku. Memang, untuk menegakkan prinsip, bukan sesuatu yang mudah!

Tidak ada komentar:

Load Counter